Senin, 15 Mei 2017

Pentingnya Asuransi dalam Pembangunan Pembangkit "Geothermal"

Pentingnya Asuransi dalam Pembangunan Pembangkit "Geothermal"

Baca Juga



 Pemberian fasilitas asuransi penting untuk membangun pembangkit listrik tenaga panas bumi (geothermal).  Selain itu, keberadaan asuransi untuk memitigasi kerugian biaya akibat kegagalan pengeboran eksplorasi dapat juga meminimalisir pendanaan proyek (project financing).

Hal itu disampaikan oleh Riki Ibrahim, Dosen Pasca Sarjana Universitas Darma Persada (Jurusan Energi Terbarukan) dan juga mantan Direktur Keuangan Tuban Petrochemicals Industries, dalam makalahnya yang berjudul "Upaya Pelaksanaan Kegiatan Pembangunan Proyek ‘zero’ Emisi CO2 Untuk Indonesia – Pengembangan PLTP".

Dalam paparannya, Riki mengatakan sejak 1970 sudah ada upaya memitigasi risiko ekplorasi sumur panas bumi yang dilakukan di beberapa negara. Tujuannya, untuk mengakselerasi pengembangan pemanfaatan energi panas bumi.  

Umumnya, insentif yang diberikan berupa jaminan pinjaman, jaminan biaya sebagian atas kegagalan pemboran sumur panas bumi, program asuransi untuk membantu biaya pengeboran eksplorasi, pengurangan pajak atas fasilitas konstruksi, serta jaminan penjualan listrik energi panas bumi dengan harga yang menarik.

Riki memandang, Indonesia seharusnya memanfaatkan upaya pengelolaan fasilitas dana geothermal (FDG) yang sudah disetujui oleh DPR-RI untuk dana geothermal (FDG) pada APBN 2011-2013, yakni  sebesar Rp 1 triliun per tahun.  

Menurut Riki, upaya pemerintah akan dapat direalisasikan jika dana geothermal (FDG) tersebut dapat dijamin oleh asuransi. Apa alasannya?
Sebagai gambaran, Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi panas bumi terbesar di dunia, dengan total sekitar 29 GW apabila dikonversikan menjadi listrik.

Indonesia kaya potensi panas bumi karena Indonesia dikelilingi oleh pegunungan akibat lempeng api ‘ring of fire’, terbentang dari Sabang hingga Marauke.
Potensi proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) sebesar 10.000 MW paling banyak terdapat di Sumatera dan Jawa.

Sedangkan wilayah yang sudah banyak menghasilkan listrik dari energi terbarukan panas bumi saat ini adalah di Jawa Barat, terdapat di Lapangan Kamojang (PGE), Lapangan Darajat (Chevron), Lapangan Wayang Windu (Star Energy), Lapangan Patuha (PT Geo Dipa Energi), dan Lapangan Awibengkok, di Gunung Salak (Chevron).  

Di Jawa Tengah, PT Geo Dipa Energi juga mengelola Lapangan Dieng.  Sedangkan dibeberapa lapangan panas bumi di luar Jawa yang sudah di eksplorasi dan dieksploitasi yaitu di Sibayak (PGE) Sumatera Utara, Ulubelu (PGE) Lampung (Sumatera Selatan) dan Lahedong (PGE) Sulawesi Utara.  

Namun, kontribusi PLTP Indonesia dalam sistem kelistrikan nasional masih kecil jumlahnya dibandingkan pengembangan PLTP di Filipina, karena pembangunan PLTP di Indonesia terkendala dengan nilai keekonomiannya (rendahnya harga jual listrik ke PLN).

Selain itu, walaupun pemerintah sudah menaikan harga listrik panas bumi, namun masih belum banyak membantu pengembangan PLTP.  Apa sebabnya?
Penyebabnya,  menurut Riki, yakni biaya eksplorasi sumur dan pengembangan serta biaya persiapan infrastruktur masih tinggi. Saat ini total biaya  pembangunan sumur panas bumi  sekitar 7 juta dollar AS per sumur.  

Estimasi total biaya secara keseluruhan saat ini termasuk sumur-sumur dan sistem di atas permukaan tanah (Steamfield Above Ground System) untuk PLTP di Indonesia sekitar 4 juta dollar AS sampai 5 juta dollar AS per megawatt (MW).
Biaya infrastruktur seperti penyediaan jalan dan lahan serta tiga sumur pengeboran eksplorasi itu layaknya ditanggung oleh pemerintah agar harga listrik panas bumi bisa sekitar 12 sen dollar AS  per kWh.  

"Perlu dicatat bahwa saat ini biaya pengeboran sumur eksplorasi dan persiapan infrastruktur di lapangan seperti jalan dan pembebasan lahan menjadi tanggung jawab pengembang.  Kegiatan ini masih sulit untuk mendapatkan pendanaan atau pinjaman dari bank," tulis Riki.

Saat ini lembaga pembiayaan atau pun bank enggan mengucurkan pembiayaan eksplorasi sebab menilai risiko kegagalan tinggi.
Oleh sebab itu, Riki menilai pentingnya keberadaan asuransi untuk memitigasi kerugian biaya akibat kegagalan pengeboran eksplorasi. Hadirnya asuransi juga dapat meminimalisir pendanaan proyek (project financing).
  
BUMN di sektor panas bumi seperti Geodipa, PLN dan Pertamina perlu melakukan percontohan sebagai langkah terobosan.  Sehingga akan lebih banyak pembiayaan untuk mendorong eksplorasi panas bumi.

Riki menyatakan, apabila keberadaan perusahaan asuransi dan lembaga keuangan seperti PT Pusat Investasi Pemerintah (PIP) dan PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) berjalan dengan baik, tentu mekanisme serupa dapat ditawarkan juga kepada swasta nasional yang melakukan pengembangan proyek panas bumi.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah proyek PLTP layak diasuransikan?
Menurut Riki, sangat layak. Alasannya, pertama, dalam paparan teknis berdasarkan data yang terpublikasi, sekitar 300 sumur panas bumi di Indonesia terbukti 75 persen diantaranya sukses melakukan pengeboran sumur eksplorasi, dengan rata-rata produksi sekitar 7 MW.  
Lain halnya dengan pengeboran hidrokarbon di Indonesia yang hanya mencapai 7 persen-10 persen sukses.  

Kedua, dengan lebih banyaknya data, tentu pihak asuransi lebih mudah memahami struktur risiko eksplorasi panas bumi.  Deskripsi proyek panas bumi yang diperlukan pihak asuransi dalam estimasi dari sumur yang akan di bor.
Deksripsi tersebut meliputi studi kelayakan geologi, interpretasi investigasi seismic, konsep pengembangan usaha, desain lokasi sumur-sumur, program stimulasi sumur apabila diperlukan.

Juga meliputi, rencana PLTP yang akan dipasang, seluruh perijinan, informasi kontraktor dan vendor yang bekerja sama, termasuk juga informasi direksi yang bertanggung jawab bersama tenaga akli independent yang dipercaya dalam membuat proposal.  

Namun, masih terdapat tantangan dari penggunaan asuransi ini dalam eksplorasi geothermal.

Pertama, manfaat asuransi untuk pengeboran sumur eksplorasi maupun pengembangan panas bumi masih belum dikenal di Indonesia.
Kedua, eksplorasi merupakan tantangan utama dan terbesar dari risiko pemanfatan energi panas bumi, karena kegiatan ini adalah kunci dalam rantai bisnis.  Namun pembiayaan dan asuransi masih minim.

dengan pemanfaatan energi terbarukan (panas bumi) semestinya lebih mudah mendapat pinjaman lunak dunia, seperti melalui mekanisme kerja sama negara maju untuk melakukan aktivitas pembangun proyek “Low Carbon, rendah emisi CO2” dan lain-lainnya," kata Riki, yang juga menjabat sebagai Dewan Pakar Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia.
Tantangan ketiga, pengesahan dari badan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan menjabarkan ‘Term and Condition’ bersama perhitungan teknis aktuaria sebagai dasar perhitungan premi asuransi.  

Asumsi atas pengeboran sumur eksplorasi dan pengembangan pemanfaatan energi panas bumi mudah didapat dan tidak sulit dibuatkan formula untuk perhitungan teknis aktuaria, sebagaimana asuransi di sektor migas Indonesia.
Tantangan keempat, semua pihak harus memahami bahwa pengeboran panas bumi merupakan kegiatan yang tidak terlalu tinggi risikonya dibandingkan dengan pengeboran hidrokarbon (minyak dan gas).

Selain itu, lokasi sumur panas bumi letaknya selalu di daratan, dan bukan di lautan, sehingga dapat diyakinkan jaminan asuransi eksplorasi atas pinjaman dana geothermal (FDG) pemerintah guna kegiatan eksplorasi atau pencarian sumur energi panas bumi.

Dengan demikian, dana pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dapat dikembalikan (tidak hilang), dengan jangka waktu yang disepakati oleh kedua belah pihak (pengembang dan PIP atau SMI).  

Tantangan kelima, insentif untuk pengembangan pemanfaatan energi terbarukan seperti energi panas bumi yang bersih lingkungan perlu mendapat kebijakan insentif yang signifikan menarik dari pemerintah. Misalnya, melalui skema adanya asuransi yang telah berhasil dilakukan di beberapa negara.

"Tidak diragukan, asuransi risiko eksplorasi sebagai mitigasi risiko atas kegagalan pengeboran eksplorasi panas bumi, juga diperlukan sebagai mitigasi biaya untuk pendanaan proyek (project financing), dalam upaya pelaksanaan kegiatan pembangunan proyek ‘zero’ emisi CO2 di indonesia", pungkas Riki.
Semburan Diduga Akibat Eksplorasi Panas Bumi(Kompas TV)
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Related Posts

Pentingnya Asuransi dalam Pembangunan Pembangkit "Geothermal"
4/ 5
Oleh